Banyak kalangan menganggap takwa berarti takut kepada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Asumsi semacam ini sah-sah saja, tapi belum sepenuhnya mewakili esensi takwa, apalagi jika dikaitkan dengan upaya mengaktualkan terma takwa ini tak hanya untuk kesalehan individual, tapi juga untuk melahirkan kasalehan sosial yang berdampak besar bagi kemakmuran yang bersendikan keadilan.
Secara bahasa, takwa berasal dari kata wiqayah: memelihara diri dari segala hal yang merusak dan merugikan diri kita. Allah SWT berfirman: “Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” (QS Al-Anfaal [8]:25).
Menghindar dan menjaga diri dari fitnah serta kemurkaan Allah dengan menjalankan sunnatullah secara benar dalam tataran kosmos ataupun sosial dan pranata hukum, juga adalah esensi takwa kepada Allah SWT.
Negara dan bangsa kita yang mayoritas Muslim ini mengalami krisis keadilan dan penegakkan hukum yang parah. Ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa ini harus proaktifmengatasi krisis tersebut. Salah satunya, dengan cara mem-breakdown terma takwa kedalam reformasi mental para penegak hukum di negeri ini.
Oleh Alquran dinyatakan bersikap adil dalam menegakkan hukum adalah wujud takwa. (Al Maidah [5]:8). Sikap tegas dan tanpa pandang bulu meski diberlakukan terhadap diri sendiri dan kerabatnya, dalam penegakkan hukum hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang takwa kepada Allah. “wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar-balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi maka sesungguhnya Allah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (An-Nissa’[4]:135).
Dalam praktiknya, para pemimpin yang bertakwa seperti Ali bin Abi Thalib berlaku tawadlu dan taat terhadap putusan hukum, meskipun perkaranya untuk klaim baju besi yang dikuasai seorang Yahudi dikalahkan oleh Qadhi Syuraih di sidang pengadilan. Pasalnya, sang khalifah mengajukan saksi, yaitu Hasan, putranya sendiri, dan Qanbar, pembantunya. Oleh Syuraih, saksi dari kerabat seperti ini ditolak karena dianggap bisa menimbulkan bias. Akhirnya, sang Qadhi memenangkan si Yahudi dan Khalifa Ali pun menerimanya dengan ikhlas.
Sikap tawadlu yang lahir dari takwa inilah justru memicu si Yahudi masuk Islam. “Duhai Amirul Mukminin, Anda mengajukan saya kepada Qadhi bawahan Anda, tapi dia malah memenangkan saya atas Anda. Saya bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan saya bersaksi tiada tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rosulullah,” ujar warga Yahudi itu. Subhanallah!
Oleh : Fahmi salim
0 komentar:
Post a Comment